Siaran Pers Forum Korban NAPZA Jabodetabek

banirisset

Siaran Pers
“Pengguna Napza Adalah Korban, Bukan Kriminal”
Untuk disiarkan segera

Berdasarkan resolusi no 42/112 PBB, United Nations On Drugs and Crime (UNODC) menetapkan tanggal 26 Juni sebagai “International Day Against Drug Abuse and Illicit Drug Trafficking” atau yang biasa dikenal dengan “Hari Anti Madat Sedunia”. Sampai dengan hari ini, tanggal 26 Juni dijadikan tonggak untuk memperkuat aksi dan kerjasama dunia internasional untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari penyalahgunaan Napza.

Di Indonesia, angka tindak pidana narkotika meningkat 205% dari tahun 2003 sampai dengan 2006 (data Badan Narkotika Nasional). Penggunaan napza suntik juga menjadi salah satu faktor yang memicu peningkatan infeksi HIV. Laporan kasus HIV/AIDS Ditjen PPMPL menyebutkan, sejak Januari sampai sampai 30 September tahun ini ada 133 kasus HIV dan 223 kasus AIDS. Secara kumulatif, jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sampai 30 September 2003 ada 3.924 kasus dengan perincian 2.685 infeksi HIV, 1.239 kasus AIDS ( 429 di antaranya telah meninggal). Penambahan kasus HIV terutama pada pemakai napza suntik. Khusus untuk kasus HIV/AIDS tahun 2002, lebih dari 80 persen karena pemakaian napza suntik. Untuk tahun 2003, kecenderungan penyebaran juga sama (melalui napza suntik). Bila perilaku ini dibiarkan maka jumlah yang terinfeksi HIV akan berlipat ganda atau sekitar 80 persen dari total seluruh infeksi baru tahun 2003.

Masalah dengan napza tidak akan pernah bisa diselesaikan bila tidak disertai dengan pemahaman tentang penyakit kecanduan dan regulasi yang tepat. Kebanyakan masyarakat dan pembuat kebijakan masih percaya bahwa penghukuman yang menimbulkan efek jera dapat menjadi senjata yang efektif. Pendekatan seperti ini juga yang selama ini diterapkan dalam kampanye global “War Against Drugs”.


Sayang sampai hari ini Indonesia belum memiliki data konkrit tentang keefektifan kebijakan napza yang selama ini diterapkan. Kebanyakan negara-negara di dunia, (termasuk Indonesia) menerapkan pendekatan “drug prohibition” – yang cenderung represif. Bila kita melihat kembali sejarah di Amerika Serikat pada tahun 1972 sampai dengan 1988 – angka penggunaan cocaine justru meningkat 5 kali lipat saat gencarnya kampanye “War Against Drugs”. Kampanye yang dirancang untuk menurunkan prevalensi penggunaan Napza pada saat itu justru menciptakan efek kebalikannya – meningkatkan jumlah penggunaan.

“Satu hal yang seringkali di lupakan oleh para pembuat kebijakan adalah permasalahan dengan napza tidak akan pernah selesai apabila kita tidak memecahkan masalah utamanya seperti kemiskinan, tingginya angka pengangguran, dan minimnya akses terhadap layanan publik”, menurut Wulan, aktivis sekaligus mantan pengguna. “Langkah menempatkan pengguna napza sebagai kriminal tidak tepat, karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah akses terhadap layanan-layanan yang dapat membantu mereka pulih dari kecanduannya”, penjelasan lebih lanjut.

Kecanduan adalah sebuah penyakit yang bersifat progresif, merusak biologis, psikologis, sosial dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini adalah chronical relapsing disease (penyakit kambuhan). Oleh sebab itu sudah sangat jelas bahwa pecandu adalah KORBAN.

Di Indonesia saat ini sudah ada peraturan yang menyebutkan bahwa pengguna napza dapat dikirim ke panti rehabilitasi untuk menjalani perawatan sebagai ganti hukuman kurungan. Namun sayangnya, semenjak peraturan tersebut berlaku tahun 1997 (UU no.22 tahun 1997 tentang narkotika & UU no.5 tahun 1997 tentang psikotropika).
Belum banyak yang dikirim ke panti rehabilitasi atas perintah hakim di pengadilan. Hal ini terjadi terutama karena masih kurangnya batasan antara pengguna dan pengedar di dalam UU Narkotika yang sekarang berlaku.

Also Read

Bagikan:

Tags

Leave a Comment


For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.