Jika Anda adalah Roy Marten, apa yang Anda butuhkan saat ini? Perawatan dan rehabilitasi, atau penjara?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan baik karena menyangkut kepentingan manusia dan negara.
Untuk itu, diperlukan argumen yang mengedepankan rasa keadilan dan kepentingan perlindungan masyarakat.
Mari mulai dengan penjara, pilihan yang lazim dilakukan. Apa manfaat penjara bagi pemakai narkoba seperti Roy Marten? Pendapat umum menyatakan, penjara memberi efek jera. Artinya, mereka yang melakukan tindakan melawan hukum akan takut mengulang perbuatannya karena tidak mau dipenjara lagi. Benarkah? Bagi pengidap masalah adiksi (judi, seks, alkohol, narkoba), pemenjaraan tidak pernah efektif. Sulit mencari bukti itu dalam literatur adiksi.
Kebutuhan akan zat atau perilaku yang digandrunginya, seperti judi, akan memberi dorongan yang amat besar sehingga mengalahkan mekanisme berpikir rasional dan rasa takut akan konsekuensinya. Karena itu, pencandu narkoba dan adiksi lain (penjudi, pemerkosa) adalah residivis paling umum di lembaga pemasyarakatan di mana pun di dunia. Pertanyaannya, mengapa?
WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan. Semua ini berarti, ”penyembuhan” terhadap individu yang mengalami permasalahan adiksi narkoba bukan proses sederhana. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius.
Pertanyaannya, apakah penjara mampu menawarkan solusi yang lebih efektif dan kreatif? Tujuan dari pemenjaraan adalah isolasi, mengurangi kontak antara orang yang dipenjara dan masyarakat umum karena tindakan mereka dianggap merugikan masyarakat.
Tindakan para pencandu memang merugikan masyarakat, karena untuk memenuhi ketagihannya dia akan mencuri, menipu, dan mungkin melukai orang lain. Kebanyakan mereka seperti itu karena tidak memperoleh perawatan dan rehabilitasi. Seperti Roy Marten dan banyak pencandu lainnya, yang mereka alami adalah kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigmatisasi masyarakat.
Semua perlakuan itu tidak memprioritaskan kecanduannya, tetapi tindakan kriminalnya, yang sebenarnya dapat diatasi jika yang bersangkutan mendapat bantuan profesional segera.
Hasilnya, penanganan terhadap pencandu tidak ada kemajuan (kreativitas) , kita membebani negara dan masyarakat sama seperti bertahun-tahun sebelumnya dan tidak belajar dari bukti-bukti baru. Memang kini telah dibentuk lapas narkoba, tetapi sejauh mana fasilitas ini mempunyai program perawatan dan rehabilitasi efektif, masih patut dipertanyakan.
Kita tahu, musuh masyarakat bukan pencandu, tetapi produsen dan pengedar. Statistik Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan pencandu. Pemenjaraan pencandu menyebabkan penjara penuh dan overcrowded, terjadinya kekerasan dan eksploitasi, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan pengembangan jaringan baru yang melibatkan pencandu dalam kejahatan narkoba terorganisasi. Jika kita memahami persoalannya seperti ini, mengapa kita terus melakukan kesalahan yang sama?
Mungkin banyak pihak tidak peduli dengan berkurangnya produktivitas SDM yang dipenjara atau negara yang harus membiayai fasilitas dan keputusan seperti itu. Jika dipikirkan matang-matang, seorang pencandu—yang dalam banyak kasus kehilangan tujuan hidup—dapat ditangani secara lebih kreatif dan bermanfaat.
Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu tanpa bantuan zat/obat. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin.
Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal. Karena tingginya penularan HIV di penjara, negara bahkan terpaksa membuat program baru, seperti rumatan metadon dan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) lainnya.
Artinya, semua biaya yang dikeluarkan negara tidak berhasil membangun kembali SDM yang bermasalah menjadi berguna, tetapi justru membuatnya tidak berguna sama sekali atau menghilangkannya. Beginikah kebijakan publik dikembangkan?
Orang-orang seperti Roy Marten atau Fariz RM akan lebih bermanfaat, bagi dirinya dan orang lain, jika dimasukkan dalam program rehabilitasi medik, lalu sosial. Mereka perlu mencari makna hidup dengan membantu orang lain melalui bakat-bakat dan kemampuan mereka.
Banyak anak akan diuntungkan jika diwajibkan (dengan pengawasan) untuk mengajar di sekolah-sekolah miskin atau membantu melalui kerja fisik dan otak bagi anggota masyarakat di luar Jakarta yang membutuhkan talenta mereka. Memenjarakan orang seperti mereka, apalagi dengan ancaman hukuman yang lebih panjang, justru merugikan negara dan masyarakat.
Mengelola sumber daya di dalam negara yang miskin—walau katanya kaya—seperti Indonesia, kita harus pandai-pandai berhemat. Ini bukan hanya soal finansial, melainkan justru soal memaksimalkan modal sosial yang ada. Jangan sampai bakat- bakat para pencandu habis dipenjara sekaligus bersama tubuh dan jiwa mereka. Investasikan sumber daya yang sangat langka di negara ini untuk memerangi narkotikanya, mencegah dampak buruknya, dan mendidik masyarakat. Pencandu bukan musuh masyarakat. Mereka butuh obat dan perawatan, bukan pemenjaraan.
Sumber : Irwanto Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
Bagaimana menurut anda? Mari kita berdiskusi…
roy marten layak mendapatka perawatan pemulihan spsikososial, tapi siapa yang memenuhi kebutuhannya karena ia adalah korban.
pemasalahannya adalah, saat ini dalam permasalahan napza negara menganggap pencandu adalah korban apabila ia melaporkan dirinya kepada pejabat yang berwenang, mengharapkan pecandu melaporkan dirinya, masih sulit dikarenakan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas.
ini dikarenakan ketidak jelasan UU tentang narkoba, mana yang pengedar mana pengguna.
awas anda jadi korban……..
herru,
Selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan dalam setiap kebijakan. Tapi pertanyaanya adalah… Ko lebih banyak orang yang dirugikan ya? Bukankah seharusnya adalah sebaliknya?
klo menurut gw sich… UU tentang narkoba dah jelas…cuma implementasinya yg abu-abu… mungkin perpu eksekutornya masih suka ama dunia SMA kalee….hiks…hiks..
Untuk melihat dia korban atau kriminal
harus dilihat apakah awal penggunaan disadari betul ingin menggunakan dan tahu segala resikonya.Kalau penggunaan napza karena terkait kondisi apakah berkaitan dengan keluarga, dengan pemerintah atau dengan pendidikan dan pekerjaan maka dia adalah korban.
Kemudian apakah dia kriminal menurutku tergantung, kalau dalam pemakaian dia melakukan krimininal sesuai KUHP ya dia bisa dibilanmg kriminal, tapi dalam pemakaian dia tidak pernah melakukan hal tersebut ya tidak bisa dibilang kriminal.
tapi yang jelas hampir semua pengguna napza adalah korban, yaitu korban kebijakan atau korban sistem yang ada.
Sedangkan kalau dia dikategirikan pemakaianya adalah tindakan kriminal itu jelas tidak dan selayaknya di lawan.
seseorang dikatakan kriminal kalau merugikan orang lain tapi kalau merugikan dirinya dan keluarganya itu bukan kriminal