Noldy menambahkan, sampai saat ini sebagian orang memang menganggap terinfeksi HIV seperti bencana. Karena itu mereka langsung merasa perlu teman untuk berbagi, salah satunya lewat KDS. “Akibatnya sering kali KDS hanya jadi tempat untuk kami menangis bersama. Padahal akan lebih baik kalau ada sesuatu yang bisa kami kerjakan selain hanya meratapi nasib,” katanya.
Noldy, yang juga anggota KDS Addict + mengatakan pemberdayaan ODHA sebaiknya bersifat berjenjang sehingga pada satu titik, ODHA juga akan bisa mengambil keputusan sendiri yang terbaik untuknya. “Silakan lihat. ODHA yang berdaya itu justru lebih banyak ODHA yang sudah keluar dari LSM. Sebab ketika di LSM, mereka masih merasa tidak bisa memberdayakan diri. Mereka merasa dibatasi,” kata Noldy.
Luh Putu Ikha Widari, Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Bali pun mengatakan hal yang sama. “Sengaja atau tidak, LSM di Bali banyak yang membuat ODHA ketergantungan pada mereka,” kata Ike.
Ike memberikan contoh dalam hal mengakses layanan kesehatan. Selama ini, tambahnya, banyak LSM yang sampai mengantarkan ODHA sampai ke tempat layanan bahkan untuk ambil obat. “Kalau pertama kali sih boleh saja. Tapi kalau seterusnya ya membuat ODHA jadi tergantung,” katanya.
“Menurutku, LSM masih melihat penanggulangan AIDS sebagai proyek. Jadi mereka takut kalau ODHA akan benar-benar berdaya dan tidak butuh LSM lagi,” tambah Ike yang pernah bekerja di LSM Bali Plus.
Menurut Ike, pemberdayaan ODHA sebaiknya cukup dengan memberikan informasi dasar pada ODHA. Misalnya tentang hak asasi manusia ataupun standar kesehatan umum. “Kalau ODHA sudah tahu, maka mereka akan menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya,” kata Ike.
Hal inilah yang sekarang dilakukan Ike melalui IPPI Bali yang beranggotakan 20 ODHA dan Orang yang hidup dengan ODHA (ODHA) di Bali, Lombok, dan Kupang. “Kami sering berdiskusi tentang hak dasar ODHA bersama kawan-kawan LBH sehingga kami jadi lebih sadar tentang hak sebagai manusia maupun ODHA,” tambahnya.
Benar boss,.. kadang orang bertingkah nggak adil seperti itu,..
mbok ya dirapiin tuh tulisannya. agak berantakan soale. 🙂
btw, kok pake platform blogspot sih. jd agak ribet pas mau komen. 🙂
tulisan ini ada baiknya di-post di aids ina & napza indo, biar diskusi di sana jadi dinamis… (patri)
horeeeeeeeeeeeeeeee saya nomor empattttttttttttt hohohoho 😀 😛
waaaw setuju tucukhhhhh… kujungan pertamaniii, salam kenal bos…
nice post bang…setuju
setubuh, jadi objek penderita itu memang ga menyenangkan cmiiw
Tak kirain kata KDS tadi tuh inisial namaku. eh,ndak tahunya singkatan dari Kelompok Dukungan Sebaya tho,hi,..hi..malu gw..
kunjungan pertama, salam kenal 🙂
Nie mah obyek mencari nafkah di atas penderitaan…
Bukankah ini sudah menjadi rahasia umum di dunia HIV dan praktek ini memang di langengkan untuk keberlangsungan program. dan 'mungkin' ada pendapat bagi orang yang mempunyai orientasi tertentu ini sebagai hal yang halal 🙁
"Malah" yang coba saya sikapi adalah data estimasi -Orang Dengan HIV- kenapa selalu fantastis datanya, secara sempit saya mempunyai pandangan bahwa hal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tersebut perlu dana penanggulangan HIV(besar), nah ini juga perlu di cermati…
apakah ini di pergunakan untuk menarik investor (donor) atau menarik respon kepedulian para pemimpin (dengan menakut2i data di daerahnya)
Karena rumus data estimasi variabelnya yang njlimet (ribet) berdampak pada data nasional;regional;lokal tidak sama…
Apakah ini di permainkan untuk kepentingan tertentu, mari kita sikapi!!
setubuh, jadi objek penderita itu memang ga menyenangkan cmiiw
nice post bang…setuju